Mendaki Lembah Ramma saat Gerhana Matahari


Sejak jaman SMA sampai lulus kuliah saya gak pernah yang namanya mendaki gunung lewati lembah kayak lagu ninja hattori (mungkin generasi sekarang gak kenal ninja hattori ya J Penyebabnya karena saya gak pernah gaul sama anak-anak gunung sih.
Hidup adalah anugerah yang diberikan Tuhan hanya sekali. Itulah yang terbersit dalam pikiranku ketika melihat postingan seorang teman di facebook. Saat scroll timeline malam itu muncul status Rio dan Arta yang akan mendaki hari Rabu besok. Mereka berdua adalah teman yang saya kenal lewat media sosial dan sudah bertemu beberapa kali. Sudah lebih 5 bulan saya tidak bertemu mereka. Sebenarnya akrab dengan Rio. Kalau Arta kenal namun gak sampai "bonding" seperti ke Rio. Kembali ke topik, saya iseng-seng komentar untuk ikut serta. Tidak berapa lama Rio merespon dan mempersilakan saya ikut namun semua perlengkapan harus saya persiapkan sendiri. Cek budget di rekening masih bisalah keluarin sekitar 500k untuk beli tenda, sleeping bag, senter, dll. Rio membantu membelikan beberapa perlengkapan tersebut karena kesibukan saya di kantor. Saya gak beli matras tidur karena punya matras yoga yang bisa saya gunakan sebagai alas tidur dalam tenda. Smart! 
Sehari sebelum berangkat saya ke kost mereka untuk mengambil perlengkapan yang sudah saya titip untuk dibelikan Rio. Ransel juga dipinjemin Rio. Pokoknya Rio the best lah jadi teman. Setelah semua beres, saya pulang ke kontrakan. Minum teh chamomile agar pulas tidur dan esok badan segar untuk mendaki.
9 Maret 2016 pukul 05:00 Wita
Perjalanan 3 bocah petualang dimulai... (oops, walaupun umur 1/4 abad, harus berjiwa muda dong)
Saya bertemu Rio dan Arta di check point yang sudah disepakati. Sialnya saya tadi malam lupa isi bensin. Jarum bensin hanya setengah, pada saat itu SPBU terdekat belum buka, sedangkan jarak ke Desa Lembanna sekitar 80 KM. Dengan pertimbangan beban hanya ransel dan gak ada boncengan, motor injeksi punya saya juga sudah terbukti irit (gak sebut merk ya) saya yakin bisa sampai di SPBU kota Malino sebelum bensin benar-benar habis. Kita berangkat di subuh hari yang terasa lain dari biasanya. Hari itu pas perayaan Nyepi dan bertepatan dengan gerhana matahari yang akan terjadi pukul 08:00 nanti. Setelah 90 menit perjalanan, kami ampai di SPBU kota Malino yang ternyata belum buka. Terpaksa beli bensin botolan di warung. Perjalanan dilanjutkan. Selama ini saya ke Malino paling jauh hanya ke Lembah Biru. Untuk mendaki ke lembah ramma dimulai dari desa Lembanna yang terletak sekitar 5 km setelah lembah Biru. 
Sinar mentari pagi waktu itu sungguh menyegarkan, menerpa kami yang sedang berkendara sambil melihat aktivitas warga yang memulai harinya. Mayoritas warga adalah petani sayur-mayur. Sepanjang jalan terlihat warung yang menjual sayuran seperti wortel, tomat, brokoli, aplukat, markisa, dl. Semuanya terlihat segar sekali.
Untuk menuju Desa Lembanna harus melewati jalanan kecil yang menurun. Letak jalan tersebut sebelah kanan setelah melewati Malino Highland. Penandanya adalah bengkel motor di samping jalanan tersebut. Dari pinggir jalan poros ke desa Lembanna sekitar 2 km melewati jalan tersebut. Kami parkir motor di salah satu rumah warga. Warga disana menyambut ramah para pendaki. Beberapa rumah dijadikan basecamp untuk beberapa komunitas mapala. Kami istirahat sejenak 15 menit sambil sarapan di salah satu warung. Saya berharap warung tersebut menjual nasi campur tapi yang ada hanya mie instant direbus bersama telur. Gak apa2lah kan mie instant juga karbo. 
Saat kami sarapan, beberapa tim sar terlihat saling berkoordinasi satu sama lain. Setelah kepo-kepoin tanya mba2 penjual warung, ternyata ada 2 orang pendaki yang belum kembali sejak mendaki jumat kemarin. Alamak! Sekarang sudah Rabu itu berarti sudah 5 hari. 2 orang itu adalah laki-laki semua. Seorang kira-kira umur 30-an dan satunya lagi umur 20-an. Kata warga, sebelum mendaki, kedua orang itu sempat meminta beras ke salah satu rumah warga karena persediaan mereka hanya ala kadarnya. Ya ampun, koq mereka nekad. Eh... saya kembalikan kondisi itu ke kami bertiga. Hanya Rio yang pernah mendaki tetapi ke puncak bawakaraeng, sedangkan dia belum pernah sama sekali ke lembah ramma. Rio begitu optimis dengan pendakian yang akan dilakukan dengan asumsi banyak pendaki lain yang ke ramma karena ini tanggal merah. Jadi kita bisa ikuti mereka. Hmmm... Sebenarnya saya cukup optimis namun melihat tim sar yang lalu lalang, saya khawatir juga. Bisa saja besok kita yang dicari mereka. Jangan sampai Tuhan. Semoga fisik kami bertiga kuat sampai tujuan.
Selesai sarapan kami mulai pendakian. Sepanjang jalan melewati rumah warga, sungguh lain, dan terasa mistik karena sedang terjadi gerhana. Sinar matahari pagi seperti difilter 50% jadi tidak terlalu terang, penglihatan samar-samar, seakan-akan berada di dimensi lain. Warga sekitar banyak yang nekad melihat gerhana secara langsung padahal sangat berbahaya. Namun ada juga yang main aman melihat gerhana menggunakan karbon hasil rontgent paru-paru. Smart!
Setelah melewati rumah terakhir di Desa Lembanna, kami melewati jalan becek di antara ladang sayur, lalu masuk ke hutan pinus. Inilah titik awal pendakian kami. Melewati pohon pinus dengan aroma khasnya membuat mood berubah jadi semangat. Beberapa anak muda kemping di sana menatap kami dan kami pun membalas dengan senyum. Kami berpapasan dengan seorang berseragam orange. Dia tim sar, menyapa kami dengan ramah lalu berkata “Liat-liatki di jalan nah kalau liat sesuatu”.  Hanya saya dan Rio yang menjawab. Setelah tim sar itu pergi menjauh, Arta bertanya maksud perkataan tadi. Hahaha dasar dia parnoan. Dia pikir bapak tim sar itu memperingatkan untuk hati-hati kalau liat yang mistis di hutan. Padahal maksud bapak itu kita bantu agar dua orang hilang itu kami cari juga sepanjang pendakian. 
Perjalanan ke Lembah Ramma harus melewati 5 pos. Untuk mencapai pos pertama kami harus melewati hutan pinus ini. Semalam mungkin hujan sehingga jalan setapak pendakian yang kami lewati dialiri air yang cukup deras. Kami harus ekstra hati-hati, menginjak bebatuan agar sepatu tidak basah. Di trek ini lumayan menguras tenaga. Setelah melewati jalan bebatuan yang mendaki, kami melewati jalan setapak yang sudah mulai datar. Sampai di post 1 kami istirahat. Disini adalah pertigaan, kiri ke puncak bawakaraeng, kanan ke lembah ramma. Saat itu saya tidak memperhatikan pohon besar di antara pertigaan tersebut yang terkenal angker. Saya pun baru tahu perihal pohon tersebut setelah selesai mendaki dari hasil googling. Mungkin pendakian berikutnya saya akan foto pohon yang terkenal angker tersebut.
Ok saya fast forward saja yah. Perjalanan dari pos 1 menuju lembah, kami melewati beberapa bukit dan sungai. Kami berhenti di masing-masing pos untuk istirahat sebentar. Sialnya, air minum kemasan 1.5 liter saya simpan di tengah ransel. Sangat membebani. Untuk mengambilnya sangat susah jadi kalau haus saya langsung minum di sungai saja seperti film-film petualangan. Airnya segar sekali dan kaya mineral. Memang benar kata iklan, air pegunungan segarnya beda ya, kayak ada manis-manisnya gitu. 
Sepanjang jalan kami bertemu beberapa pendaki lain yang telah selesai kemping di lembah. Ternyata dugaan Rio meleset. Hanya ada 2 kelompok pendaki lain yang kami lewati sepanjang pendakian. Tidak terlalu ramai. Sebelum mendaki kita diberi saran oleh seorang bapak tua warga lembanna, katanya tips jitu mendaki adalah, naik adalah fokus kiri, pulang  adalah fokus kanan. Artinya saat berangkat kami harus fokus ke penanda di sebelah kiri yang selalu ada setiap beberapa meter. Penanda itu seperti tali rafia, plastik kresek, atau bungkus indomi yang diikat di dahan atau batang pohon. Prinsip mendaki kami adalah tidak boleh takabur, teriak tidak jelas, tidak boleh pikiran kosong, dan tak boleh buang sampah. Sampah kami kumpulkan di tas masing-masing.
Medan terberat adalah saat menuju puncak talung. Disini kemiringan mencapai 80 derajat membuat betis harus bekerja ekstra. Semua terbayarkan saat kami sampai di puncak talung. Kita sejajar dengan awan yang berarak di angkasa. Di bawah sana terlihat tujuan kami, Lembah Ramma. Kalau dilihat dari puncak talung sepertinya dekat. Namun ternyata masih jauh hampir satu jam untuk mencapainya. Menuruni puncak talung menuju lembah ada 3 jalan. Opsi pertama melewati jalanan yang sering dilewati sapi. Ini yang paling aman namun juga yang paling jauh tempuhnya. Opsi kedua melewati tebing-tebing. Medannya pertengahanlah tingkat kesulitannya. Opsi ketiga adalah jalur paling ekstrem. Katanya ini yang paling dekat namun setelah melihat sendiri, kita langsung ogah. Orang menyebutnya jalur elang atau apalah. Sebenarnya itu jalan setapak menurun yang sangat curam, kiri kanan, jurang, sekali kepleset, sayonara dah. Jadi kami ambil jalur pertengahan melewati tebing-tebing. Saat menuruni tebing kami disambut hujan. Kami berhenti sejenak memasang panco yang telah kami bawa masing-masing. Oh iya, panco Rio dan Arta adalah disposable alias sekali pakai. Mantel dan celananya dipasang terpisah. Sangat tidak disarankan memakai panco disposable tersebut. Sangat tipis sehingga saat ngangkang menuruni tebing, robek! Walhasil selangkangan mereka basah. Sungguh tidak nyaman (kata mereka). Saya cukup beruntung membawa panco yang selalu saya simpan di bawah sadel motor. Gak ada celananya. Simpel. Tinggal pasang seperti mukena, tutupi badan bersama ransel, lalu kancing kiri dan kannannya, celana gulung ke atas agar tidak basah. Sangat praktis.
Setelah kurang lebih 40 menit turun dari puncak talung akhirnya kami sampai di tujuan. Lembah Ramma, hamparan padang rumput yang diselingi beberapa aliran sungai kecil. Di depannya berdiri tegak tebing puncak talung yang membentang tinggi dari timur ke barat. Sungguh indah, sangat indah... Seperti lokasi film-film epic semacam The Lord of The Rings dan Game of Thrones. Kami memilih spot yang tidak becek di samping sungai kecil. Langsung pasang tenda sekitar 20 menit sudah selesai. Lalu masuk masuk ke tenda masing-masing, mengeluarkan barang  bawaan dan membuat sandwich dan susu hangat. Nikmat sekali... Makan di saat hujan di antara hamparan padang rumput. Tidak berapa lama kami selesai makan hujan telah berhenti. Saya dan Rio keluar tenda menikmati suasana lembah di sore hari. Sedangkan Arta pulas tertidur setelah makan. Di antara tenda kami, terlihat beberapa sapi berkeliaran. Sapi-sapi tersebut adalah piaraan tata mandong, juru kunci bawakaraeng. Rumahnya tak begitu jauh dari tenda namun kami tidak yakin beliau ada disana.
Di antara sapi-sapi tersebut terlihat seekor kuda berwarna abu-abu sedang santai melahap rumput. Saya sangat menyukai kuda. Saya mendekatinya, mencoba menyentuh namun yang terjadi kuda itu membelakangi saya seakan siap menendang dengan kedua kaki belakangnya. Saya menghindar... Kuda itu lari ke semak-semak lalu kembali mengunyah rumput dengan santai. Kecewa... Kudanya tidak jinak. Saya lalu mendekati salah satu sapi. Hohoho ternyata tidak seperti kuda tadi, sapi itu jinak. Saya sempat berpose seperti ini (pasang link).

Saya dan Rio berkeliling ke arah timur melewati tenda pendaki lain. Kami menemukan spot yang paling bagus disini. Ada sungai yang mengarah ke danau kecil dan beberapa pohon yang bisa digantung hammock. Seharusnya kami pasang tendanya di spot ini. Ya sudahlah... Setelah makan sandwich tadi spontan ada panggilan alam. Di dekat danau itu ada sungai kecil yang ditutupi semak-semang. Beruntung, alirannya menjauh dari tenda kami jadi aman J Saya bab disana J Ini seperti survivor. Semua dilakukan di alam.
Mentari sudah hilang tertutup bukit di sebelah barat. Saya, Rio kembali ke tenda. Mempersiapkan makan malam. Kami kompak bagi tugas. Saya cuci peralatan masak, potong sayur, mereka berdua mempersiapkan tungku api. Saya memuji kompor kecil buatan rio yang dibuat dari kaleng soda. Sangat efisien untuk dipakai. Ukuran kecil sehingga tidak memberatkan tas. Saat memasak kami kaget tiba-tiba muncul sosok berdiri di samping tenda. Gerak geriknya tidak terdeteksi karena lampu senternya dimatikan. Saya pikir parakang. Ternyata dia pendaki lain yang meminta spiritus yang dibawa oleh Rio. Huft...  
Selesai makan. Saya inisiatif membawa peralatan masak untuk dicuci di sungai kecil yang tak jauh dari tenda. Walaupun jaraknya dekat namun ngeri juga karena sangat gelap. Saat cuci piring, saya mematikan senter lalu menatap ke angkasa. Sangat indah. Karena alam bebas tidak ada polusi cahaya seperti di kota, bintang dan planet jadi terlihat dengan jelas. Persis seperti di film titanic, saat Rose berbaring di terombang ambing di samping Jack. Dia menatap ke angkasa melihat titik-titik bintang dengan jelas. Seperti itu pemandangannya.
Dirty dishes now clean. Akhirnya kami meringkuk ke dalam tenda. Tertidur pulas di alam bebas...
10 Maret 2016 pukul 06:00
Saya bangun dengan tenggorokan sakit. Hidung sedikit meler. Pertanda mau pilek. Sebelum keluar tenda saya buat video ini (pasang link) J Kapan lagi bisa vlogging di tempat indah ini. Ya gak?
Saatnya menikmati pemandangan sekitar. Kami pasang hammock di danau yang kami temukan kemarin. Waktu dihabiskan hanya foto-foto sampai puas. Pemandangannya sangat indah. Ada satu foto saya upload di path, mayoritas teman nge-love saking indahnya pemandangan disana. Mungkin karena pakai action cam xiaomi jadi hasilnya bagus. Saya pinjam "mainan" binocular yang dibawa Rio untuk keker pemandangan sekitar sampai pohon kecil di atas puncak terlihat dengan jelas menggunakan binocular nya Rio. 
Puas menikmati pagi. Saat kembali ke tenda, saya menemukan kondisi gesper pintu tenda terbuka. Di dalam kondisi acak-acakan. Saya panik. Memeriksa tas, semua barang berharga masih ada. Tapi... biskuit yang sudah terbuka kemasannya, kini hilang. Mungkin dibawa lari sama sapi-sapi karena kemarin beberapa kali sapi mendekati tenda untuk kunyah makanan depan tenda. Sekarang persediaan makan perjalanan pulang sudah hilang dibawa kabur sapi. Untung masih ada beberapa coki-coki dan permen karet. Setelah selesai packing, perjalanan pulang dimulai. 
Cilakanya, saat naik ke puncak talung kami seperti kehilangan arah. Tiba-tiba saja sampai di jalur elang yang sangat berbahaya. Dari atas terlihat puncak talung sudah dekat. Namun melihat jalur yang hanya jalan setapak kecil dengan kemiringan ekstrim. Sekali terpeleset bisa jatuh ke jurang kiri kanan. Rio mengusulkan apa kita kembali, mencari jalan kemarin? tapi dia lebih menyarankan jalur elang ini. Saya iyakan saja karena puncak di atas sudah sangat dekat terlihat dan kami belum terlalu capek. Oh iya, sepanjang pendakian kami punya rule khusus, urutannya yang di depan Rio, lalu Arta, paling belakang saya dengan pertimbangan, Rio yang tau jalan dan sudah pernah naik gunung sehingga di harus depan. Arta yang paling muda sehingga di di tengah. Saya yang paling tua sehingga saya paling belakang. 
Rio dan Artha sudah duluan mendaki ke atas melewati jalur elang. Sedangkan saya di belakang tertinggal beberapa meter namun mereka sudah tidak terlihat akibat jalan depan ada batu besar yang harus dilalui. Keringat dingin mengucur. Saya melihat kebelakang dan ke samping kiri kanan. Jurang menganga! Di bawah sana pepohonan terlihat kecil sekali. Saya dulu sangat phobia dengan ketinggian namun phobia itu sedikit terobati karena keseringan main roller coaster dan giant swing di trans studio. Namun tetap saja ada, di depan Rio dan Arta sudah tidak terlihat. Hanya suara Rio yang samar-samar memanggil  saya. Saya menyahut bilang saya baik-baik saja. Namun kenyataannya batu besar ini saya harus daki sendirian! Di sebelah kanan batu tumbuh rumput. Saya mencoba pegangan di rumput itu lalu tarik. Tercabut. Sial! Saya pegangan dimana agar bisa naik? Batu ini besar dan gundul. Gak ada yang bisa dijadikan pegangan. Jalan satu-satunya saya harus lompat. 
Ok siap. Saya meletakkan kedua tapak tangan ke batu itu lalu lompat sekuat tenaga, mendorong badan ke atas. Berhasil! Setengah badan sudah di atas, perut menjadi tumpuan,  kedua kaki menggantung di bawah. Saya diam beberapa saat agar tas di punggung bisa stabil agar tidak bergeser ke kiri atau kanan yang bisa bawa badan ini terjun bebas ke jurang. Setelah stabil, saya hentak kedua kaki ke atas lalu dengan gerakan cepat merangkak ke depan. Mungkin kalau ada yang rekam dari atas, saya terlihat seperti kadal yang lari terbirit-birit. Jantung berdebar kencang. Saya terus ke depan merangkak lalu setelah aman, duduk bersandar di bebatuan menghadap medan yang baru saja saya lewati. Saya mengintip ke bawah lalu tersenyum. Berhasil! Lalu bergegas mendaki ke atas menemui Rio dan Artha yang sudah ada di puncak talung..... Alhamdulillah...
Kami melanjutkan perjalanan ke desa lembanna tanpa hambatan kecuali hujan dari pos 4 sampai pinus. Sebelum sampai di hutan pinus dekat desa. Rio ngotot pengen ke air terjun yang tak jauh dari situ. Saya sih sebenarnya mau kesana juga. Namun Arta menolak karena sudah capek dan lapar. Ya sudah.. Mungkin lain kali kalau kita kesini lagi...

Kami mampir mengisi perut yang kelaparan, makan bakso di depan hutan pinus Malino. Juga mampir ke pasar tradisional membeli jajanan khas kota bunga ini, alpukat, markisa, dodol ketan, dan kacang karamel. Sampai di Makassar sudah hampir Isya. Saya gak langsung ke rumah namun ke kantor dulu hanya untuk absen sidik jari. Beruntungnya orang kantor memaklumi karena muka saya acak kadut setelah mendaki, boss juga gak komplain
~~~~
Perjalanan 2 hari satu malam ke lembah Ramma tersebut adalah pengalaman spesial yang tidak afdol jika hanya sekali kesana. Betul kata teman-teman yang sebelunya sudah kesana. Lembah Ramma ngangenin. Saya menulis pengalaman ini 2 bulan setelah pendakian. Ada rasa yang tertinggal disana. Rasa damai itu. Jauh dari hiruk pikuk kota. indahnya pohon pinus, pohon yang diselimuti lumut dari akar sampai puncah dahan, air gunung yang segar ketika membasahi tenggorokan, udara 100% oksigen, kebersamaan dengan 2 orang teman baik, pengalaman masak di alam bebas dengan peralatan sederhana, makan bersama di padang rumput, petualangan berbahaya melewati jalur elang, semua itu akan saya alami lagi. Insya Allah, tunggu saya Lembah Ramma, saya akan datang lagi, menikmati pesona yang tak pernah kau ingkari....

Makassar, 1 Mei 2016

2 comments:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author